Minggu, 02 Januari 2022

Pertanyaan Logika Medis dari Film Di Bawah Lindungan Kabah

 


Meski film ini sudah lama tayang, bolehkah kembali bertanya, hal apa yang paliing berkesan? 

Kalau buat saya yang paling meninggalkan jejak ialah pesan dalam cerita itu sendiri. 

Dengan judul yang sudah pasti akan berakar pada kehidupan umat Islam (mengadaptasi dari novel karya Buya Hamka dengan judul yang sama) ada bumbu-bumbu kehidupan manusia biasa. Ada romantisme yang dikemas tanpa sentuhan, namun menjadi puncak konflik ketika sebuah keadaan genting yang membuat mereka bersentuhan.

Nah, sudah tahukah apa kejadian itu? 

Berawal dari kisah yang diceritakan pada tahun 1922 (ini negeri kita dalam masa belum merdeka kan ya?), prolognya dari dalam kereta uap tempo dulu. Di dalam kereta itulah ada Hamid, salah satu dari tokoh utama di film ini yang pulang dari perantauan menempuh ilmu. Dia disekolahkan oleh Angku Jafar yang kaya raya.

Anak Angku Jafar adalah gadis tanah Minang bernama Zainab yang setelah lulus masa sekolah (tidak disebutkan sekolah rakyat apa ya masa itu, atau saya yang kurang menyimak), ia pun akan menjalani masa untuk persiapan menikah. 


Baca juga: Review Film Di Bawah Lindungan Kabah (1)


Peristiwa Puncak (menurut saya)

Saat Hamid akan mengikuti lomba debat di desanya dan janji Zainab untuk melihat perlombaan tersebut. Selain berlomba kata, Hamid dan Zainab berlomba pula dengan waktu yang sesungguhnya. 

Sang Ayah Zainab rupanya tahu jika Zainab hendak menyimak perlombaan itu hingga diberi tugas yang banyak. Namun kereen, Zainab bisa menyelesaikannya dengan cepat. 

Tergesa-gesa Zainab dan Rosna (sahabatnya) mengayuh sepeda unta (sepeda jadul), melewati perkampungan Minang yang sepertinya tidak sekadar settingan, dan karena ingin lebih cepat sampai, Zainab potong kompas dengan memilih melalui jembatan di seberang surau, tempat diadakannya perlombaan.


Namun, byuuurr!! 

Zainab terjatuh dan tenggelam di sungai


Saya merasa agak aneh dengan tindakan RJP atau resusitasi jantung paru dalam dunia medis yang dilakukan oleh Hamid pada Zainab. Apakah Hamid bersekolah di kedokteran? Setahu saya di film diceritakan jika Hamid melanjutkan sekolah (atau kuliah?) di Thawalib. Sepertinya ini pondok pesantren sih. Mohon diluruskan yaa kalau ada yang tahu. 

Dan juga pertanyaan apakah memang dunia kedokteran Indonesia saat masa perjuangan meraih kemerdekaan sudah maju? Saya kurang paham sih dunia medis di saat itu.

Tetapi memang menjadi masalah besar jika akhirnya menjadikan Hamid harus berjauhan dari Zainab karena hal tersebut. Selain dianggap tidak sesuai dengan adat, menjadi perdebatan dalam dunia keislaman atas kondisi yang terjadi pun menurut saya butuh pengayaan lebih dalam juga jika memilih RJP sebagai salah satu pencetus puncak konflik.


Apakah Sakit Hamid dan Zainab?

Selain mereka berdua sebagai tokoh utama sudah menderita karena perjuangan hati mereka, di film juga diceritakan mereka berdua seolah janjian untuk sama-sama sakit fisik. Namun lagi-lagi saya menemukan kurang pendalaman lagi pada kondisi sakit yang mereka alami. 

Saya sempat menduga misal mereka sakit karena wabah waktu dulu atau apa ya semestinya di keluarga Zainab yang kaya raya bisa untuk memanggil dokter atau tenaga kesehatan yang sesuai zaman saat itu (minimal tabib kali ya). Namun sampai akhir kisah tak ada sebab yang dijelaskan. 

Memang sih ending kehidupan sebenarnya pun bergantung dan hak prerogative Allah banget. Tapi untuk jalannya sebuah kisah fiktif akan lebih bisa memenuhi "ke-kekepo-an" pemirsa jika memang logika dari alur itu tidak menimbulkan atau minimal meminimalisir pertanyaan.


Kesimpulan versi saya

Sudah pada tahu kaaan, endingnya bagaimana. 😃 Kalau belum, silakan ditonton yaaa. 

Meski dari sisi keterbatasan saya yang pernah kuliah dan kerja di dunia medis, film ini perlu digali sedikiiit lagi agar lebih tepat penempatan konfliknya, namun film ini sukses membuat saya "nyesek", hiks. 

Romansa Hamid dengan Zainab dan juga kasih sayang ibunya Hamid pada anak laki-laki semata wayangnya (yang membuat saya ikut bisa menebak kejadian yang akan menimpa emaknya Hamid dan ternyata betul 🙈) menjadi jalan helai-helai tisu untuk menyapa mata saya. 


Jika kamu sendirian, maka cukuplah Allah yang menemanimu.
(Emak berpesan pada Hamid).

Kembali lagi pada judulnya, "Di Bawah Lindungan Kabah", memang endingnya betul-betul kisah dan perjuangan yang bertumpu pada keridhoan-Nya. Oya, visualisasi kondisi saat berhaji zaman dulu khususnya saat wukuf di Mina dan melewati padang pasir itu menurut saya sudah pas, meski memang ada adegan yang editing, tapi rasanya semua memaklumi. 

Di luar ekspektasi dan juga reviu-reviu yang bertebaran di pencarian atas film ini, saya tidak hendak menambah hal yang dirasa kurang pas, sebab sudah banyak yang menyampaikan. Saya hanya ingin berterima kasih pada Buya Hamka, untuk ide karya yang luar biasa dan juga pada sineas tanah air yang sudah membingkai kisah di novel menjadi film. Semoga sukses selalu.

 



Tidak ada komentar: