Kisah Ta'aruf *29 Hari Menuju Nikah
"Teramat dalamlah cinta
Bismillah
Flashback. Rasanya kembali menjalani hari-hari yang sangat menentukan lima tahun yang lalu, perasaan antara senang, penuh harap, juga cemas. Semoga apa yang kami bagi bisa bermanfaat ya, agar tak bertambah panjang deretan saudaraku yang takut menikah, khususnya para ikhwan! Sebab ada banyak antrian akhwat yang telah siap menikah namun ikhwan tak juga kunjung datang melamar ikhwan, mana ikhwan, ngacuuung ! *pengen jadi mak comblang, di sini banyak akhwat menanti dikhitbah "_"
Bumi Surabaya, Sabtu, 09 Mei 2009 "Ta'aruf"
😔
Hanya berbekal sedikit info dari adik kontrakan (adinda Cupinq tersayaangg) yang berniat menjodohkan aku dengan masnya serta "penantian", panjang sejak akhir Januari 09 tanpa kepastian, selesai kerja aku berangkat ke rumah umiku. Seharusnya saat ta'aruf kami sudah memegang proposal masing-masing, namun entahlah karena kesibukan ustadz sang ikhwan, proposal sang ikhwan tidak bisa dikasihkan ke umiku. Sedangkan proposalku dan fotoku sudah nyampai ke tangan sang ikhwan (tidak adil itu mah, masak dia duluan tahu fotoku "_". Zaman segini sosmed belum dikenal, bro ! Jadi kalau sampai ada yang nyimpen foto itu duh !). Namun aku telah menyiapkan deretan pertanyaan untuk ikhwan yang berta'aruf denganku.
Akhirnya pada jam yang telah disepakati, sepuluh menit sebelumnya sang ikhwan dan ustadznya telah datang. Hmm tanpa rasa berdebar aku duduk di sebelah umiku, sedikit berhadapan dengan sang ikhwan. Entah apakah dia mencuri pandang padaku atau tidak, tapi aku sempat mencuri lihat padanya, dan hanya sempat menatap pada... baju kotak-kotak ! Hihihi... tak berani kalau memandang wajahnya ^_^
Bismillah...
Akhirnya sang ikhwan dipersilahkan oleh ustadz yang ternyata bukan ustadz sebenarnya, tapi teman sang ustadz karena sang ustadz ada di luar kota, untuk memulai presentasi tentang dirinya. Dan, baru kali itu aku mendapat proposalnya dan juga mengetahui dengan jelas fotonya. Foto ? Ah, tidak bergetar apa-apa saat melihatnya :D
NB : Kalau mau lihat contoh proposal nikah boleh nanti dishare di postingan lainnya yaa...In sya Allah
Hingga tibalah bagiku untuk mengajukan pertanyaan, untuk mengetahui pandangannya pada
- aktivitasku yang sebelumnya aktif di semacam bela diri perempuan (sempat dijuluki akhwat pembalap dan akhwat galak lo saat di kampus n organisasi, ups ) --> jawabannya "boleeehh..."
- profesiku sebagai bidan yang bisa jadi hari libur ga libur, waktu tidur malah nolong melahirkan
dan ternyata ia menjawab ---> akan mendukung semua aktivitasku selama itu memberi manfaat dan tak melupakan kewajiban sebagai istri dan ibu nantinya.
Jawabannya klise ya ? Hihi...
Lalu gantian aku yang menyampaikan presentasi. Berhubung proposalku sudah di tangannya, maka presentasiku tak terlalu lama. Hingga ganti ia yang bertanya padaku.
- Siapkah aku menerima perbedaan tentang aktivitasnya yang beda latar belakang denganku? Bisa dibilang jika aku ikut bela diri yang cenderung keras, maka ia justru banyak memperdalam pada bidang keilmuan yang banyak menyerukan toleransi pada masyarakat
- tentang pekerjaannya, "Dengan segala kerumitan dunia PNS, siap ga kalau nanti menikah terus hidup bukan sebagai PNS?" Jiaaah... belum apa-apa sudah ditanya siap ga kalau mendampingi suami yang bukan PNS. Memang aku tak ingin bersuamikan seorang PNS sebenarnya, tapi karena ortu yang ingin.. dan aku mendapat proposal seorang laki-laki yang PNS.
- tentang pendapatku jika akhirnya kami berjodoh apakah aku bersedia untuk mengikutinya kemanapun ia kerja. Ceileeh... pertanyaannya yakin banget ya bakalan berjodoh..
Baru sedikit mengenalnya lebih dekat, bahkan wajahnya pun aku masih samar, hanya terlihat ia pakai baju koko putih. Alhamdulillah akhirnya ta'aruf kami selesai, ditutup dengan keputusan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. In syaAllah ia akan silaturahim ke kedua orang tuaku di Ngawi, entah waktunya kapan tepatnya tapi diusahakan dalam bulan mei ini.
Ngawi, Sabtu, 30 Mei 2009 "Khitbah / Lamaran"
Jumat malam aku pulang ke Ngawi setelah dinas sore di rumah sakit. Fiuhh...aku sering mengacaukan jadwal shift, tapi aku bertanggung jawab lo walau akhirnya badan jadi pegel-pegel karena aku mengganti dobel shift bahkan pernah 24 jam di rumah sakit. Ah, semoga berganti dengan yang lebih indah : menikah! Aamiin
Lamaran yang Sederhana
Sabtu pagi kami sekeluarga telah siap untuk menyambutnya. Setelah ta'aruf, antara aku dan dia tak pernah komunikasi langsung, sengaja umi dan ustadznya tidak memperbolehkan kami, agar kami lebih menjaga hati. Hal-hal yang perlu bisa disampaikan lewat umi, ustadz, bahkan langsung ke orang tuaku. Jadi bisa dibilang si ikhwan lebih dulu akrab dengan orang tuaku daripada denganku.
"Assalamualaikum.." ia datang sendirian!
"Viii... ini lo sudah datang..!"
Aduh, bapak pakai manggil-manggil segala dari ruang tamu. Padahal saat aku menyapu halaman depan pun aku juga mengetahui sosok laki-laki yang menaiki becak. Entah kenapa aku feeling kalau itu si ikhwan yang akan ke rumah. Dan, lariii... segera masuk rumah ! Maluu.. ! Buru-buru memakai kaos kaki xixixi. Lagipula masih jam delapan pagi kurang dikit, ia sudah sampai di rumah.
Ibu segera menemui sang tamu. Aku malu untuk menemuinya, meski bapak dan ibu lagi-lagi memanggilku. Lagipula harus ikut menyambut bagaimana? Bingung, ah ! Akhirnya aku sengaja sembunyi di balik tirai di ruang tengah.
"Sebelumnya, saya mau menyampaikan maaf, bu, pak... karena keluarga saya tidak bisa hadir ke sini karena bersamaan dengan meninggalnya nenek saya..." itu pengantar yang disampaikan laki-laki yang warna bajunya pun aku tak bisa memastikan karena aku tak ikut menemuinya, yang telah menempuh jarak antara Siodarjo-Ngawi, eh malah dari Jakarta-Ngawi melewati Bojonegoro karena naik kereta jalur utara.
Asli ga enak banget rasanya. Mau ikut menemui sungkan, ga menemui juga ga enak. Aduh, otakku baru kembali on saat aku menyadari aku harus menyiapkan minuman. Akhirnya aku menuju dapur dan membuatkan teh hangat. Beruntungnya aku tak salah memasukkan mana garam dan mana gula.
"Silahkan diminum..." hanya dua kata itu yang mampu kusampaikan sambil menguyuhkan secangkir teh pada laki-laki yang datang pada dua orang tuaku.
Entah telingaku yang tak mendengar ucapan terima kasih darinya atau memang dia tak berkata-kata, aku segera melesat kembali ke tempat persembunyianku. Adek semata wayangku senyum-senyum melihat mbaknya kebingungan.
"Vii, ini bingkisannya dibawa masuk." kata Ibu. Aku membawa bingkisan yang dibawa olehnya.
Ihh, kalau ada tamu ikhwan atau teman laki-laki sih tidak masalah, bahkan mereka yang datang selalu kukenalkan pada bapak dan ibu. Lha ini kan momennya "sowan" sang ikhwan ke orang tuaku. Jadi feelnya beda.
Akhirnya, bapak menanyakan poin inti kedatangan sang laki-laki yang berniat meminta anak perempuannya, "Jadi, nak Ichin sudah siap untuk meminta Viana...?"
Duaaarr... ! Andai ada petasan mungkin saat itu sudah meledak di rumah. Rasanya seperti tersengat listrik saat bapak berbicara hal tersebut.
Adikku kian heboh mengejekku. Dan aku,bingung nanti kalau disuruh jawab sama bapak gimana.
"In sya Allah, siap, pak..."
Kali ini rasanya seperti terjatuh dari atas awan ke atas rerumputan yang hijau. "Vii... duduk sini, loh"
Aduh, aku makin tak sanggup bicara ataupun beranjak dari dudukku.
Akhirnya mereka membicarakan mahar. Aku tetap lekat pada kursi yang kududuki. Untuk mahar, aku hanya meminta pembacaan surat Ar Rahman, tapi ibu bersikeras meminta seperangkat alat sholat dan uang sesuai tanggal yang disepakati.
Jadi beneran, aku mau nikah ?
Polosnya, aku tetap saja berada berjauhan dengan calon suami #ehh... sudah bisa disebut calon suami ya. Bahkan hingga saatnya makan siang. Aku terlalu malu (atau malu-maluin sebenarnya ya?) untuk ikut duduk bersama bapak, ibu dan... calon suami (ehem).
"Tapi, ya itu, nak... Viana itu belum bisa masak macam-macam, jadi nanti kalau dimasakin ceplok telur ama tempe jangan kaget ya.."
Aduh, buuuu... ! Duh, mau ditaruh mana mukakuu.. Rasanya ingin ditelan bumi saja.
"Ya, soalnya memang pas sekolah full, jadi pulang ke rumah masakan sudah matang, pas kuliah juga di asrama, jadi tak bisa masak kayak di kost. Cuma akhir-akhir ini Viana juga sudah rajin belajar masak kok."
Ahhh, ibu menyelamatkanku dari timbunan malu yang membenamkanku ke dasar bumi. Adikku cekikikan. Beruntung adikku yang di semester awal kuliah tidak ikutan meledekku saat itu.
Lalu berakhirlah segala momen ketidak enakan yang kualami hari itu. Horeee, dia mau pulang ! Ga terasa lama juga dia di rumah, tapi yang diapelin bapak sama ibu. Ngapelnya ke orang tua si akhwat :D
Asli sebenarnya pingin ikut ngantar keluar tapi tetap saja, maluuuu ! Dan yang lebih malu, bapak meminta sang ikhwan dipoto dulu pakai hapeku. Aku malu untuk memotretnya, bisa-bisa terbakar nanti fotonya. Bapaklah yang kuminta untuk memotret calon anak lanangnya.
"Wes, cakep. Kalau ada foto yang baru gini kan bapak sama ibu bisa ingat wajahmu, nak." kata bapak. Sebab di proposal yang dikasihkan saat ta'aruf, dia cuma melampirkan satu foto saat masih kuliah dengan mengenakan jas dan foto bersama keluarga besarnya yang wajah dirinya tidak begitu jelas.
Akhirnya ia pun berpamitan.
"Bapak kok tidak mau ngantar, to? Kan kasihan." tanya ibu. Dalam hati aku mengiyakan.
"Sudah tak apa-apa. Kan masih belum resmi jadi anak lanang kita." Hmmm bahasa lelaki begitu ya.
Dadaagg, mas.. ! Weww, kalau saja aku berani bilang demikian, kayaknya si ikhwan bakalan berpikir beberapa kali untuk melamarku.
Dan ternyata saat itu terjadi miskom ! Keluargaku mengira saat itulah aku dilamar, meski orang tua si ikhwan berhalangan hadir. Tapi keluarga ikhwan mengira itu hanya perkenalan ikhwan dengan keluargaku.
"Oalah, leeee... kalau tahu saat itu lamaran, yo bapak sama ibu bela-belain datang ke Ngawi meski kita lagi berduka, bawa segala rupa pangadeg. Tak kira, awakmu ngapel to, le.." katanya calon bapak mertua yang disampaikan lewat adek kontrakanku.
Bapaaak... yang diapelin bukan Viana, tapi bapak sama ibuuu... ^_^
#dipublikasikan pertama pada 6 Agustus 2010, diperbarui 22 September 2014
NEXT --> Menjelang Akad Nikah
1 komentar untuk "Kisah Ta'aruf *29 Hari Menuju Nikah"