Asa pada Pengasuhan Inklusi
Kita tak bisa memilih anak, tapi dengan memetik ridho-Nya, insyaAllah kita bisa menjadi orang tua yang baik untuk setiap anak
Antara terharu dan meleleh di acara panggung ceria FBG Transcity Ibu Profesional bertemakan "Pendidikan Inklusi". Acara yang menampilkan tiga teman wisatawan Hotel Mentari, khususnya Mba Siti Asmaul Chusna (IP Jogja) sebagai narasumber dengan kedua putra yang istimewa, bagiku sangat-sangat menjadikan pengingat untuk lebih bersabar dengan peran sebagai Bunda.
"Pranggg ...!"
Seperti ada intro saat Mba Chusna tampil menyapa kami. Suara yang ternyata berasal dari aksi buah hati Mba Chusna, dan beliau pun meminta izin untuk meredakan anak-anak sebentar. MasyaAllah, sampai sini saja aku takjub.
Betapa kadang merasa menjadi Bunda yang sudah terlalu payah dengan keseharian padahal alhamdulillah anak-anak kami dalam kondisi pada umumnya, juga mendapati teman-teman kadang mengeluh pendidikan dan pengasuhan khususnya selama pandemi ini, ternyata masih ada Bunda yang jauh lebih luar biasa menjalankan perannya dengan kesabaran kita, lho! MasyaAllah
Setelah sebelumnya acara dibuka oleh Mba Siti Khadijah (IP Malang Raya) dengan operator kece Mba Sellin Rachmawati (IP Banten), mulailah Mba Chusna sharing tentang pengasuhan beliau.
Baca juga: Panggung ceria bersama mie keling Sumatera Utara
Anak Istimewa dan Orang Tua Luar Biasa
MasyaAllah, jika aku melihat betapa kuasa Allah memberikan skenario tak biasa pada orang tua anak istimewa itu pasti menyimpan hikmah yang luar biasa.
Sekuat apapun pertahanan, ketika sebuah keadaan yang tak sesuai dengan harapan dan realita pada umumnya, pasti memunculkan respon penolakan, tak terkecuali Mba Chusna dan suami yang juga memerlukan waktu untuk mengenalkan buah hatinya, khususnya di keluarga besar.
Kuacungi jempol ketegaran Mba Chusna untuk berbagi kondisi anak-anaknya di muka umum. Hal yang kuyakin tak semua orang tua bisa melakukan hal yang sama, agar sharingnya bisa menjadikan inspirasi.
*mataku seperti sedang mengupas sekilo bawang.
Dan memang, kondisi masyarakat awamlah yang seringkali memperburuk pertahanan hati para keluarga istimewa tersebut. Stigma yang berkembang jika adanya hal yang luar biasa pada anak itu sebagai sebuah kekurangan dan bahkan aib 🙁.
Bahkan kadang tak sedikit para suami yang juga menolak kehadiran buah hati istimewa mereka. Lantas apakah Bunda sebagai sosok malaikat tanpa sayap yang mengandung dan menyusui pun harus ikut-ikutan?
Jawabannya tentu tidak, Esmeralda.
Hal itulah yang akhirnya membuat Mba Chusna (lagi-lagi aku takjub, masyaAllah) memilih remedial di kelas Bunda sayang dan berhenti mengambil peran di komunitas agar fokus pada buah hatinya.
Perjalanan Melabuhkan Anak ke Sekolah Inklusi
Kedua anak Mba Chusna yang pertama perempuan berusia 9 tahun dan yang kedua usia tujuh tahun, memiliki keistimewaan pada hal konsentrasi dan atensi. Oleh dokter tumbuh kembang dilabelkan diagnosa ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder pada keduanya.
ADHD adalah kondisi yang menyebabkan anak susah fokus dan hiperaktif. Mereka membutuhkan pengasuhan dan pendidikan berkebutuhan khusus. Anak pertama Mba Chusna sudah bersekolah di sekolah inklusi.
Lebih jauh ADHD yang penyebab pastinya belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan ada pengaruh genetik, berdasarkan situs IDAI merupakan salah satu gangguan belajar pada anak. (IDAI).
Antara Sekolah Inklusi dan Sekolah Luar Biasa
Sekolah Inklusi menjadi salah satu pilihan atau bahkan jalan tengah bagi orang tua anak berkebutuhan khusus untuk tetap menyekolahkan anak di sekolah dasar, namun secara kurikulum sekolah inklusi berbeda dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Dalam situs PGSD disampaikan bahwa pendidikan inklusi ialah penyelenggaraan pendidikan dengan memberikan kesempatan yang sama pada anak yang memiliki kelainan, potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk bersama-sama belajar dengan anak-anak pada umumnya.
Indonesia sendiri telah menuju pendidikan inklusi secara formal dengan deklarasi pada 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk difabel. (Pendidikan inklusi PGSD Binus).
Nah, dalam slide presentasi, Mba Chusna pun menyampaikan bahwa pemilihan sekolah bagi anaknya di sekolah inklusi setelah melalui pertimbangan yang dinamakan segitiga emas pendidikan inklusi.
Komponen segitiga emas pendikan inklusi ini terdiri dari,
Satu, analisa medis
Hal ini didasarkan pada diagnosa dokter, psikolog, terapis yang berhubungan atau tidak juga dengan obat-obatan maupun intervensi medis yang diberikan oleh profesional.
Dua, sekolah.
Intinya ialah memilih sekolah yang ramah terhadap kondisi anak, menyediakan kebutuhan sesuai dengan dianosa anak dan yang penting sesuai dengan visi dan misi keluarga.
Tiga, kesiapan orang tua.
Bukan saja anak yang butuh belajar, tapi orang tua ABK pun seolah mendapat kesempatan belajar yang luar biasa. Ada beberapa hal di sini yang ternyata sangat berkaitan, bukan saja dari dalam orang tua, namun segala hal yang terhubung dengan orang tua.
Meliputi lingkungan rumah yang mendukung, bahkan Mba Chusna menyampaikan jika lingkungan rumahnya pun beliau desain seperti sekolah anak-anak. Ada ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) yang juga bisa terpengaruh dari kerapihan rumah.
Selain itu diperlukan rencana keuangan karena memang keberadaan sekolah inklusi ini masih belum banyak keberadaannya. Terlebih jika memerlukan penatalaksanaan dukungan medis dalam pendidikan.
Yang tak kalah penting ialah kerjasama dengan pasangan. Hal terberat berdasarkan pengalaman Mba Chusna yaitu ketika harus LDR dengan suami. Tentu kita sendiri pun pernah ya mengalami hal ini, lebih waras ketika ada suami atau ketika LDR dengan suami? Dan ternyata bagi ABK, keberadaan ayah ini sangat berpengaruh, lho! Mba Chusna merasakan ketika ada Ayahnya anak-anak, maka para buah hati mereka lebih cepat progresnya.
Dukungan keluarga. Meskipun kita memiliki keluarga besar, namun pertama dukungan dari keluarga inti sangat berpengaruh. Anak yang diterima akan meningkatkan kepercayaan diri dan memiliki keterampilan sosial yang lebih baik.
Hwaaa, sampai sini kok terasa ada yang menusuk hati, hiks. Membayangkan beratnya perjuangan anak-anak khusus itu jika mereka harus berjuang sendiri dan diabaikan keluarga.
Terakhir tapi penting ialah ilmu. Sebenarnya menjadi orang tua bagaimana pun kondisi anak sama-sama memerlukan ilmu. Namun sisi-sisi istimewa yang ada pada ABK, terlebih jika memerlukan terapi medis, biasanya tetap memerlukan tindak lanjut di rumah, misalnya untuk diet, latihan-latihan pendukung, dan lainnya yang dilakukan di rumah.
Juga pastinya ilmu untuk siap mental. Siapa lagi yang akan mendukung anak-anak jika bukan para orang tuanya sendiri. MasyaAllah.
Sebagai penutup sesi panggung ceria yang sangat menginspirasi, Mba Chusna memberikan pesan bahwa, "setiap orang tua memiliki perjuangannya masing-masing. Anak adalah amanah, sebisa mungkin menjalankannya dengan bahagia. Buat teman-teman yang dikaruniakan anak-anak spesial, jangan patah semangat, bismillah."
Sebuah epilog
Menjadi berbeda bukanlah sebuah hal yang memalukan, karena misi penciptaan manusia selalu sepaket antara kelebihan dan kekurangan. Setiap makhluk memiliki harapan istimewa dengan keberadaannya.
Lewat sharing panggung ceria kemarin banyak mengingatkanku akan hakikat peran orang tua. Kita bisa memilih seorang suami/istri sebagai pasangan, namun kita tak pernah bisa memilih anak mana yang akan terlahir dari kita atau berada dalam pengasuhan kita.
Wallahu alam apakah para anak-anak itu pun diberikan kesempatan untuk memilih berorang tuakan kita? 🥺
Jika kita dan anak-anak sama-sama tidak punya pilihan, maka hanya satu yang bisa kita pilih: menjadi hamba terbaik-Nya dengan peran kita masing-masing.
Yakinlah, setiap anak adalah bintang
Dan tidak akan pernah ada bintang yang temaram
Semangaat
#peluuukk anak-anak kita masing-masing
Viana Wahyu
#misi4
13 komentar untuk "Asa pada Pengasuhan Inklusi"
Alasan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi memang agar bisa bersosialisasi dengan anak normal. Namun, ternyata bersekolah di tempat inklusi juga banyak hambatannya. Misalnya saja ada ortu lain yang masih kurang welcome. Kalau untuk anak ABK yang kasusnya berat juga tidak bisa masuk di sekolah inklusi.
Yang saya lihat, justru dengan di sekolah khusus, para orang tua jadi saling berbagi. Anak lebih terarah karena pembelajarannya memang sudah didesain secara khusus. Yang terpenting, terapi pun harus tetap jalan.