Sabtu, 18 April 2009

memory of Kartini

sumber : www.swaramuslim.net

Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Namun cahaya itu belum purna menyinarinya secara terang benderang, karena terhalang oleh tabir tradisi dan usaha westernisasi. Kartini telah kembali kepada Pemiliknya, sebelum ia menuntaskan usahanya untuk mempelajari Islam dan mengamalkannya, seperti yang diidam-idamkannya: Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai. [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

1. Mukadimah


Bismillahirrahmanirrahiim.
Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita-wanita negerinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi. Sementara Kartini sendiri sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya.

Perjalanan Kartini adalah perjalanan panjang. Dan dia belum sampai pada tujuannya. Kartini masih dalam proses. Jangan salahkan Kartini kalau dia tidak sepenuhnya dapat lepas dari kungkungan adatnya. Jangan salahkan Kartini kalau dia tidak dapat lepas dari pengaruh pendidikan Baratnya. Kartini bukan anak keadaan, terbukti bahwa dia sudah berusaha untuk mendobraknya. Yang kita salahkan adalah mereka yang menyalahartikan kemauan Kartini. Kartini tidak dapat diartikan lain kecuali sesuai dengan apa yang tersirat dalam kumpulan suratnya : "Door Duisternis Tot Licht", yang terlanjur diartikan sebagai "Habis Gelap Terbitlah Terang". Prof. Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) - mengartikan kalimat "Door Duisternis Tot Licht" sebagai "Dari Gelap Menuju Cahaya" yang bahasa Arabnya adalah "Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur". Kata dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan hidayah) ke tempat yang terang benderang (petunjuk atau kebenaran). Di dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah : 257, ALLah menegaskan:

ALLAH pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpinnya adalah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.

Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Namun cahaya itu belum purna menyinarinya secara terang benderang, karena terhalang oleh tabir tradisi dan usaha westernisasi. Kartini telah kembali kepada Pemiliknya, sebelum ia menuntaskan usahanya untuk mempelajari Islam dan mengamalkannya, seperti yang diidam-idamkannya:

Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai. [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

Kartini yang dikungkung oleh adat dan dituntun oleh Barat, telah mencoba meretas jalan menuju benderang. Tapi anehnya tak seorangpun melanjutkan perjuangannya. Wanita-wanita kini mengurai kembali benang yang telah dipintal Kartini. Sungguhpun mereka merayakan hari lahirnya, namun mereka mengecilkan arti perjuangannya. Gagasan-gagasan cemerlang Kartini yang dirumuskan dalam kamar yang sepi, mereka peringati di atas panggung yang bingar. Kecaman Kartini yang teramat pedas terhadap Barat, mereka artikan sebagai isyarat untuk mengikuti wanita-wanita Barat habis-habisan. Kartini merupakan salah satu contoh figur sejarah yang lelah menghadapi pertarungan ideologi. Jangan kecam Kartini. Karena walau bagaimana pun, beliau telah berusaha mendobrak adat, mengelak dari Barat, untuk mengubah keadaan.

Manusia itu berusaha, ALLAH lah yang menentukan. [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900]

Demikian kata-kata Kartini yang mencerminkan suatu sikapnya yang tawakkal. Memang, kita manusia sebaiknya berorientasi kepada usaha dan bukan berorientasi pada hasil. Hal ini perlu, agar kita tidak kehilangan cakrawala. Agar kita tidak mengukur keberhasilan suatu perjuangan dengan batasan usia kita yang singkat. Pula agar kita tidak mudah untuk mengecam kesalahan yang dibuat oleh orang-orang sebelum kita. Bukan mustahil, jika kita dihadapkan dalam kondisi yang sama, kita pun akan berbuat hal yang serupa.

Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai pertanggung jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan. [Al-Quran, surat Al-Baqarah : 134]

2. Siapakah Kartini?


imageKartini lahir dari keluarga ningrat jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan : R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang jenius dalam bidang bahasa. Dalam waktu singkat pendidikannya di Belanda, ia menguasai 26 bahasa: 17 bahasa-bahasa Timur dan 9 bahasa-bahasa Barat. Kartini sendiri secara formal pendidikannya hanya sampai pada tingkat Sekolah Rendah. Tapi beliau dapat memberikan kritik dan saran yang jelas kepada kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan nota yang berjudul: "Berilah Pendidikan kepada bangsa Jawa", Kartini mengajukan kritik dan saran kepada hampir semua Departemen Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Departemen Angkatan Laut (Marine). Salah satu saran yang beliau ajukan kepada Departemen Kesehatan adalah sebagai berikut:

Para dokter hendaklah juga diberi kesempatan untuk melengkapi pengetahuannya di Eropa. Keuntungannya sangat menyolok, terutama jika diperlukan penyelidikan yang menghendaki hubungan langsung dengan masyarakat. Mereka dapat menyelidiki secara mendalam khasiat obat-obatan pribumi yang sudah sering terbukti mujarab. Jikalau seorang awam menceritakan bahwa darah cacing atau belut dapat menyembuhkan mata yang bengkak, mungkin ia akan ditertawakan. Namun adalah suatu kenyataan bahwa air kelapa dan pisang batu dapat dipakai sebagai obat. Soalnya, sebetulnya sangat sederhana : penyakit-penyakit dalam negeri sebaiknya diobati dengan obat-obatan dari negeri itu sendiri. Telah seringkali terjadi bahwa orang-orang sakit bangsa Eropa, teristimewa yang menderita penyakit disentri atau penyakit lain, yang oleh dokter-dokter sudah dinyatakan tak dapat disembuhkan, masih dapat ditolong oleh obat-obatan kita yang sederhana dan tidak membahayakan. Sebagai contoh, belum lama berselang, seorang gadis pribumi oleh seorang dokter dinyatakan menderita penyakit TBC kerongkongan. Dokter itu mengatakan bahwa ia hanya dapat bertahan 2 pekan dan akan meninggal dalam keadaan yang mengerikan. Dalam keadaan putus asa, ibunya membawanya kembali ke desanya untuk diobati. Dan gadis itu sembuh, menjadi sehat, tidak merasa sakit lagi dan dapat bicara kembali. Apa obatnya? Serangga-serangga kecil yang didapat di sawah, ditelan hidup-hidup dengan pisang emas. Pengobatan yang biadab? Apa boleh buat. Bagaimanapun obat itu menolong, sedang obat dokter tidak. Dokter-dokter kita, sebenarnya dapat mengumumkan kasus-kasus seperti itu, tetapi mereka tidak pernah melakukan hal demikian. Mungkin karena khawatir akan ditertawakan oleh para sarjana? Seorang dokter bumiputera yang pengetahuannya setaraf dengan rekannya bangsa Eropa, jika yakin akan sesuatu, mestinya harus berani menyatakan dan mempertahankan keyakinannya.

Dengan membaca petikan nota Kartini yang ditujukan kapada pemerintah Hindia Belanda tersebut, kita dapat memperkirakan daya nalar Kartini untuk ukuran jamannya.

3. Kartini Mendobrak Adat


Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah.

Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang didekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar". [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan. [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

Menurut Kartini, setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapat perlakuan sama. Kartini paham benar bahwa saat itu, terutama di Jawa, keningratan seseorang diukur dengan darah. Semakin biru darah seseorang maka akan semakin ningrat kedudukannya. Kartini menentang keningratan darah.

Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf atau Baron? Tidak dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini. [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

Keningratan darah sekarang ini hanya tinggal sebagai barang antik di museum. Sebagai gantinya sekarang muncul keningratan-keningratan baru: keningratan pangkat, keningratan jabatan dan semacamnya. Puncak dari segala keningratan itu adalah keningratan ekonomi. Siapa yang paling banyak menyimpan harta, dialah yang paling ningrat. Semua dapat diatur olehnya. Keputusan dan kebijaksanaan semua orang akan berjalan erunduk-runduk di hadapan keputusan dan kebijaksanaan orang tersebut. Anehnya lagi, mereka yang mengaku sebagai Kartini-Kartini Masa Kini, tidak menentang keningratan-keningratan baru tersebut. Bahkan sebagian besar mereka menjadi korbannya, kalau tidak boleh dikatakan sebagai abdinya yang setia.

4. Kartini Memandang Ke Barat


Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa. [Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899]

Diskriminasi yang dilakukan penjajah Belanda terhadap bumiputera, telah menjatuhkan moral mereka. Kartini meskipun berasal dari kaum ningrat, tapi pendidikan Barat yang dikenyamnya telah mengajarkan kepadanya bahwa Timur itu rendah dan Barat itu mulia. Kartini bukannya tidak menyadari indoktrinasi ini, tapi kenyataan yang dilihatnya belum lagi dapat dibantah. Dalam dunia pendidikan misalnya, Kartini melihat perbedaan yang menyolok, antara apa yang dimiliki oleh Belanda dengan apa yang baru dapat dicapai oleh Bumiputera.

Bolehlah, negeri Belanda merasa berbahagia, memiliki tenaga-tenaga ahli, yang amat bersungguh mencurahkan seluruh akal dan pikiran dalam bidang pendidikan dan pengajaran remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini anak-anak Belanda lebih beruntung dari pada anak-anak Jawa, yang telah memiliki buku selain buku pelajaran sekolah. [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902]

Dari sini nampak bahwa Kartini menyadari pentingnya peranan buku dalam mencerdaskan kehidupan anak manusia. Kalau masa kini, kebudayaan membaca terkalahkan oleh kebudayaan video, apakah jawabnya adalah Kartini masa kini sudah lebih maju dalam hal mendidik anak-anak mereka?

Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih. [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900]

Agar setaraf dengan Barat, Kartini merasa perlu untuk mengejar ilmu ke Barat. Barat adalah kiblat Kartini setelah melepaskan diri dari kungkungan adat.

Pergilah ke Eropa. Itulah cita-citaku sampai nafasku yang terakhir. Surat Kartini kepada Stella [12 Januari 1900]

5. Sahabat-sahabat Dekat Kartini


Adat pada dewasa itu tidak memperkenankan seorang ningrat bergaul lekat dengan rakyat biasa. Ningrat harus bergaul dengan ningrat. Hal seperti ini sengaja dilestarikan oleh pemerintah kolonial, agar para ningrat kehilangan kepekaan terhadap problematika rakyatnya, menghindari keterpihakan ningrat kepada rakyat yang tertindas; sekaligus pula memperbesar jarak agar antara ningrat dan rakyat tidak tergalang suatu kekuatan untuk melawan penguasa. Dalam situasi demikian, dapat dipahami bila pergaulan Kartini hanya terbatas pada lingkungan keluarganya dan orang-orang Belanda saja. Pergaulan dengan orang-orang Belanda, tidaklah dilarang, karena orang Belanda dianggap lebih ningrat daripada orang Jawa. Kartini adalah seorang wanita yang mempunyai pemikiran jauh ke depan. Hal ini sudah diamati dan diketahui oleh teman-temannya bangsa Belanda. Banyak orang Belanda di Hindia Belanda maupun di negeri Belanda sendiri ingin menjalin persahabatan dengan Kartini, namun pada umumnya sebenarnya mereka ini adalah "musuh-musuh dalam selimut" yang ingin memperalat Kartini dan memandulkan pikiran-pikirannya. Berikut ini adalah beberapa teman dekat Kartini, yang sering terlibat diskusi maupun korespondensi dengannya :

- J.H. Abendanon
Abendanon datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900. Ia ditugaskan oleh Nederland untuk melaksanakan Politik Etis. Tugasnya adalah sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan. Karena 'orang baru' di Hindia-Belanda, Abendanon tidak mengetahui keadaan masyarakat Hindia-Belanda dan tidak paham bagaimana dan dari mana ia memulai programnya. Untuk keperluan itu, Abendanon banyak meminta nasihat dari teman sehaluan politiknya, Snouck Hurgronye, seorang orientalis yang terkenal sebagai arsitek perancang kemenangan Hindia-Belanda dalam Perang Aceh. Lebih jauh, Hurgronye mempunyai konsepsi yang disebut sebagai Politik Asosiasi, yaitu suatu usaha agar generasi muda Islam mengidentifikasikan dirinya dengan Barat. Menurut keyakinannya, golongan yang paling keras menentang penjajah Belanda adalah golongan Islam, terutama golongan santrinya. Memasukkan peradaban Barat dalam masyarakat pribumi adalah cara yang paling jitu untuk membendung dan akhirnya mengatasi pengaruh Islam di Hindia Belanda. Tidak mungkin membaratkan rakyat bumiputera, kecuali jika ningratnya telah dibaratkan. Untuk tujuan itu, maka langkah pertama yang harus diambil adalah mendekati kalangan ningrat terutama yang Islamnya teguh, untuk kemudian dibaratkan. Hurgronye menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini, dan untuk tujuan itulah Abendanon membina hubungan baik dengan Kartini. Kelak, Abendanonlah yang paling gigih berusaha menghalangi Kartini belajar ke Nederland. Ia tidak ingin Kartini lebih maju lagi.

- E.E. Abendanon (Ny. Abendanon)
Dia adalah pendamping setia suaminya dalam menjalankan tugasnya mendekati Kartini. Sampai menjelang akhir hayatnya, Kartini masih membina hubungan korespondensi dengannya.

- Dr. Adriani
Keluarga Abendanon pernah mengundang keluarga Kartini ke Batavia. Di Batavia inilah, Ny. Abendanon memperkenalkan Kartini dengan Dr. Adriani. Ia seorang ahli bahasa serta pendeta yang bertugas menyebarkan kristen di Toraja, Sulawesi Selatan. Dr Adriani berada di Batavia dalam rangka perlawatannya keliling Jawa dan Sumatera. Untuk selanjutnya, Dr. Adriani menjadi teman korespondensi Kartini yang intim.

- Annie Glasser
Ia adalah seorang guru yang memiliki beberapa akta pengajaran bahasa. Ia mengajarkan bahasa Perancis secara privat kepada Kartini tanpa memungut bayaran. Glasser diminta oleh Abendanon ke Kabupaten Jepara untuk mengamati dan mengikuti perkembangan pemikiran Kartini. Tidak mengherankan jika kelak Abendanon dapat mematahkan rencana Kartini untuk berangkat belajar ke Nederland, dengan mempergunakan diplomasi psikologis tingkat tinggi. Semua pihak telah gagal dalam segala upaya untuk menghalangi kepergian Kartini ke Belanda. Kartini telah berbulat tekad untuk ke Belanda. Tapi, tiba-tiba, Abendanon datang langsung dari Batavia ke Jepara untuk menemui Kartini tanpa perantaraan surat. Abendanon hanya berbicara beberapa menit saja dengan Kartini. Hasilnya? Kartini memutuskan untuk membatalkan keberangkatannya ke Belanda. Hal ini hanya mungkin jika Abandanon mengetahui secara persis kondisi psikologis Kartini; dan hal ini mudah baginya karena ia menempatkan Annie Glasser sebagai "mata-mata"nya.

- Stella (Estelle Zeehandelaar)
Sewaktu dalam pingitan (lebih kurang 4 tahun), Kartini banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Kartini tidak puas hanya mengikuti perkembangan pergerakan wanita di Eropa melalui buku dan majalah saja. Beliau ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Untuk itulah, beliau kemudian memasang iklan di sebuah majalah yang terbit di Belanda : "Hollandsche Lelie". Melalui iklan itu, Kartini menawarkan diri sebagai sahabat pena untuk wanita Eropa. Dengan segera iklan Kartini tersebut disambut oleh Stella, seorang wanita Yahudi Belanda. Stella adalah anggota militan pergerakan feminis di negeri Belanda saat itu. Ia bersahabat dengan tokoh sosialis; Ir. Van Kol, wakil ketua SDAQ (Partai Sosialis Belanda) di Tweede Kamer (Parlemen).

- Ir. Van Kol
Sebelum berkenalan dengan Kartini, Van Kol pernah tinggal di Hindia Belanda selama 16 tahun. Selain sebagai seorang insinyur, ia juga seorang ahli dalam masalah-masalah kolonial. Stella-lah yang selalu memberi informasi tentang Kartini kepadanya, sampai pada akhirnya ia berkesempatan datang ke Jepara dan berkenalan langsung dengan Kartini. Van Kol mendukung dan memperjuangkan kepergian Kartini ke negeri Belanda atas biaya Pemerintah Belanda. Namun, rupanya ada udang dibalik batu. Van Kol berharap dapat menjadikan Kartini sebagai "saksi hidup" kebobrokan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Semua ini untuk memenuhi ambisinya dalam memenangkan partainya (sosialis) di Parlemen.

- Nellie Van Kol (Ny. Van Kol)
Ia adalah seorang penulis yang mempunyai pendirian humanis dan progresif. Dialah orang yang paling berperan dalam mendangkalkan aqidah Kartini. Pada walnya, ia bermaksud untuk mengkristenkan Kartini, dengan kedatangannya seolah-olah sebagai penolong yang mengangkat Kartini dari ketidakpedulian terhadap agama. Memang, agaknya setelah perkenalannya dengan Ny. Van Kol, Kartini mulai perduli dengan agamanya, Islam. Kepeduliannya ditandai dengan diakhiri gerakan "mogok shalat" dan "mogok ngaji".

Sekarang kami merasakan badan kami lebih kokoh, segala sesuatu tampak lain sekarang. Sudah lama cahaya itu tumbuh dalam hati sanubari kami; kami belum tahu waktu itu, dan Nyonya Van Kol yang menyibak tabir yang tergantung di hadapan kami. Kami sangat berterima kasih kepadanya. [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 12 Juni 1902]

Setelah Kartini kembali menaruh perhatian pada masalah-masalah agama, mulailah Nellie Van Kol melancarkan missi kristennya.

Nyonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Yesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengar semua itu [Surat Kartini kepada Dr. Adriani, 5 Juli 1902]

Nyonya van Kol gagal untuk mengkristenkan Kartini secara formal, tapi ia berhasil untuk memasukkan nilai kristen ke dalam keislaman Kartini. Dalam banyak suratnya Kartini menyebut ALLAH dalam konsep trinitas.

Malaikat yang baik beterbangan di sekeliling saya dan Bapak yang ada di langit membantu saya dalam perjuangan saya dengan bapakku yang ada di dunia ini. [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 12 Juli 1902]

6. Kartini Ingin Menjadi Muslimah Sejati


Pada masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca Al-Quran). Ibu guru mengajinya memarahi beliau ketika Kartini menanyakan makna dari kata-kata Al-Quran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah penolakan pada diri Kartini.

"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]

Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Di Demak waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain, dari balik tabir. Kartini tertarik pada materi pengajian yang disampaikan Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, yaitu tentang tafsir Al-Fatihah. Kyai Sholeh Darat ini - demikian ia dikenal - sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara. Setelah selesai acara pengajian Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemani dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Inilah dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat :

"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?"
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
"Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?". Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
"Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"

Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa. Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al-Quran) maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang dituntut Islam terhadap muslimahnya. Terbukti Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal kehanifan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukankah pada mulanya beliau paling keras menentang poligami, tapi kemudian setelah mengenal Islam, beliau dapat menerimanya. Saat mempelajari Al-Islam lewat Al-Quran terjemahan berbahasa Jawa itu, Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya. Karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah. Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat "Dari Gelap Kepada Cahaya" ini. Karena Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan "Door Duisternis Tot Licht". Karena seringnya kata-kata tersebut muncul dalam surat-surat Kartini, maka Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Quran. Kemudian untuk masa-masa selanjutnya setelah Kartini meninggal, kata-kata Door Duisternis Tot Licht telah kehilangan maknanya, karena diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah "Habis Gelap Terbitlah Terang". Memang lebih puitis, tapi justru tidak persis.

Setelah Kartini mengenal Islam sikapnya terhadap Barat mulai berubah :
"Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda :

"Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? .... Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?" [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]

Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah ayat 193, berupaya untuk memperbaiki citra Islam selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :

"Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai." [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

7. Cita-cita Kartini Yang Sering Disalahartikan.


Kartini merasa bahwa hati kecilnya selalu mengatakan :

"Pergilah. Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ibu orang yang tertindas dibawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah. Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang abadi" [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

Petikan suratnya berikut ini adalah cita-cita Kartini yang banyak salah dimengerti :

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]

Inilah gagasan Kartini yang sebenarnya, namun kenyataannya sering diartikan secara sempit dengan satu kata: emansipasi. Sehingga setiap orang bebas mengartikan semaunya sendiri.

8. Pelajaran Bagi Umat Islam


Pada dasarnya Kartini ingin berjuang di jalan Islam. Tapi karena pemahamannya tentang Islam belum menyeluruh, maka Kartini tidak mengetahui panjangnya jalan yang akan ditempuh dan bagaimana cara berjalan diatasnya. (Mudah-mudahan Allah merahmati Kartini, beliau sudah berusaha, tapi ALLAH terlebih dahulu memanggilnya). Apabila kita mempelajari lebih jauh konsep-konsep yang diajukan Kartini, meskipun secara global adalah konsep Islam, tapi secara terperinci dan operasional, rancu dengan konsep-konsep Barat. Kita tahu sebagian besar teman-teman dekat Kartini adalah Yahudi dan Nasrani. Allah sudah memperingatkan kepada kita : Tidak akan pernah ridho orang-orang Yahudi dan Nasrani, sebelum kamu mengikuti tata cara mereka (Al-Quran, 2:120). Apa yang dialami Kartini merupakan sejarah yang senantiasa selalu terulangi. Setiap seseorang akan memperjuangkan Islam, maka tiba-tiba pihak-pihak yang tidak menyukai Islam akan bersatu untuk menghancurkannya. Bila posisi mereka lemah, maka mereka akan menempuhnya dengan cara yang halus dan tersembunyi. Tapi jika posisi mereka kuat, maka mereka akan menempuh cara-cara paksa. Secara tidak sadar Kartini menceritakan praktek keburukan umat Islam (bukan Islam yang buruk) kepada sahabat-sahabatnya non-Islam. Sehingga kelak kemudian hari menjadi bumerang dan fitnah bagi umat Islam. Sebaik-baiknya sahabat non-Islam, walau bagaimanapun tidak akan membantu Islam (Al-Quran, 3:119-120). Kartini berjuang seorang diri dan tidak menghimpun para santri lain yang ada di pulau Jawa. Salah seorang sahabat RasuluLLah, Ali bin Abi Thalib RA pernah berpesan kepada kita bahwa: Kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir. Dan Allah pun mencintai orang-orang yang berjuang di jalanNya dalam suatu barisan (Al-Quran, 61:4).


Wallahu'alam bissawab.

Reposting, sumber dari koleksi Isnet@