(Baru) Sebelas Tahun Cinta
Sesederhana cinta yang hadir, seringkali cinta bahkan tak memerlukan selebrasi apa-apa ketika dua hati sudah bertaut karena-Nya (Viana Wahyu)
Tanggal enam bulan enam alhamdulillah menjadi hari pernikahan kami yang selalu kami sambut suka cita tiap tahunnya. Ada yang sedikit berbeda pada muhasabah pernikahan kali ini, biasanya kami menyediakan waktu khusus sambil keluar, untuk saat ini karena masih baru transisi new normal dan anak pertama kami masih ujian akhir tahun, maka kami memilih merajut kenangan itu #dirumahaja.
Ahamdulillah dulu maharnya tidak minta rumah bersalin beserta isinya seperti yang ditulis ya
Itu salah satu kalimat yang terungkap ketika mas Ich sudah menjadi suamiku, rupanya si mas tahu alamat blogku dari proposal taarufku yang sempat kutulis untuk bercita-cita memiliki rumah bersalin. "Kalau dulu minta rumah bersalin sebagai mahar, tahun berapa kita bisa nikah ya?". Karena memang kondisi kami saat itu yang baru diterima di tempat kerja baru dan keluarga kami adalah keluarga sederhana. Mas Ich datang ke rumah sendiri dengan niat sekadar dolan dan silaturahim saja ke calon mertua, tapi oleh bapak dan mami diminta untuk melamarku sekalian!
Tanpa persiapan dan bala kerabat, mas Ich menerima permintaan bapak (kalau ga diterima bisa disuruh langsung angkat kaki dari rumah dan ga boleh balik lagi dong kalu menolak calon mertua 😂), dan di atas adalah jawabannya. Lalu,
Dek Vi mau mahar apa?
Entah wajahku saat itu bagaimana warnanya ya, lha wong menyuguhkan teh saja aku tak berani lama-lama, rasanya ingin segera kabuur dan menghilang sesaat meminjam pintu ke mana saja-nya Doraemon. Jangankan mencuri pandang, bilang "Silakan diminum, mas" saja sudah berat untuk sinkronisasi mulut dan hati. Entah kalau mas Ich, dia curi pandang katanya. Itu pun baru terungkap setelah kami menikah.
Akhirnya tilawah Surat Ar Rahman yang kuminta sebagai mahar, dengan harapan nantinya imamku bisa membimbing istrinya ini dengan penuh kasih. Dan mami melengkapi dengan menyampaikan keinginan beliau bahwa menikah itu dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai. Sebenarnya aku sudah menyampaikan kalau mahar itu yang meringankan calon suami, tapi ternyata disanggupi oleh mas Ichin. Dan oleh keluarga mas Ich, ditambah dengan emas yang dirupakan cincin untuk disematkan ketika selesai akad untukku.
Kami tidak saling bertukar cincin, karena memang kami berupaya mengamalkan pesan Rasulullah bahwa laki-laki tidak memakai emas. Tentang cincin ini, kami pernah pada weddingversary keempat membuat sepasang cincin dari titanium, tapi lama-lama mas tidak terbiasa. Jadi ya sudah, ikatan cinta kami tidak berada di cincin, tapi di hati. In sya Allah.
Bernostalgia itu rasanya jadi seperti adegan film yang menampakkan flashback dengan tone retronya dalam pikiranku. Muncullah kembali kenangan saat kami khidmat menjalani akad, bapak yang penuh yakin menjabat tangan pemuda yang menikahi anak gadisnya, momen saat aku dan suami pertama kali bersentuhan dengan cium tangan usai akad. Duh, kalau cerita jabat tangan pertama kali dengan suami ini, masya Allah, kalau diingat harusnya waktu itu aku deg-degan, tapi tangan kami waktu itu sama-sama hangat, tidak dingin seperti kalau lagi nervous, berarti kami saling ngarep-arep (mendambakan, Jawa) dong 😃.Akhirnya tilawah Surat Ar Rahman yang kuminta sebagai mahar, dengan harapan nantinya imamku bisa membimbing istrinya ini dengan penuh kasih. Dan mami melengkapi dengan menyampaikan keinginan beliau bahwa menikah itu dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai. Sebenarnya aku sudah menyampaikan kalau mahar itu yang meringankan calon suami, tapi ternyata disanggupi oleh mas Ichin. Dan oleh keluarga mas Ich, ditambah dengan emas yang dirupakan cincin untuk disematkan ketika selesai akad untukku.
Kami tidak saling bertukar cincin, karena memang kami berupaya mengamalkan pesan Rasulullah bahwa laki-laki tidak memakai emas. Tentang cincin ini, kami pernah pada weddingversary keempat membuat sepasang cincin dari titanium, tapi lama-lama mas tidak terbiasa. Jadi ya sudah, ikatan cinta kami tidak berada di cincin, tapi di hati. In sya Allah.
Hari pernikahan kami adalah hari pertama kedua orang tua kami saling bertemu!
Beliau belum pernah bertemu langsung karena memang waktu yang belum memungkinkan. Dari semenjak mas Ich ke rumah sendiri itu, minggu depannya kami merencanakan akad nikah.
Proses pernikahan kami melalui taaruf selama 29 hari memang dirasa tidak biasa bagi keluarga besar kami. Namun alhamdulillah keempat orang tua kami sudah saling memahami keinginan anaknya untuk menikah dengan taaruf. Tanpa pacaran. Tanpa saling komunikasi kecuali lewat ustadz/ah dan juga orang tua.
Kalau diceritakan panjanggg, tapi sedikit banyak sudah sempat kutulis kisahnya di sini Kisah Taaruf 29 Hari. Silakan kalau ingin membaca kisah kami, semoga bermanfaat.
Kami berdua masih baru berjalan
Alhamdulillah sangat beruntung ketika manusia dibekali kemampuan mereload memory, kami jadi bisa flashback pada kisah kami bermula, ketika kami disatukan justru karena banyak perbedaan dan bukan banyaknya kesamaan. Namun segala puji bagi Allah, yang menjadikan ragam perbedaan itu menjadi indah dan nyaman. Semoga teman-teman pun mendapatkan kebahagiaan yang lebiiihhh dari kebahagiaan kami. Aamiin.
Salam,
Viana&Ichin
Posting Komentar untuk "(Baru) Sebelas Tahun Cinta"